Pukul tiga dini hari. Gadis itu masih juga nongkrong
di teras kamarnya dilantai atas. Di sampingnya terkapar tak berdaya sebuah
camera. Malam ini, dia tengah asyik mengintip! Eit, nanti dulu! Jangan negative
thinking dong! Yang di intipnya adalah tebaran bintang di langit melalui
teropong! Ada yang sedang dicarinya. Dia celingukan terus ke atas langit.
Angin malam menyapa. Si
gadis merapatkan jaketnya yang agak tersingkap. Dingin dan sunyi. Tapi di atas,
langit tampak begitu cerah dengan ditemani sedikit bintang. Sinarnya kadang
menerang, kadang meredup bersaing dengan lampu merkuri di pinggir jalan.
“hhh.”
Ia mendesah. Dia bingung, kesal, marah. Sudah seminggu ini yang dicarinya nggak
nongol. Kalaupun ada, belum tentu dia berhasil menangkap si kecil yang cepat
itu. Dia pusing, stres, dongkol. Selalu begini hasil akhirnya. Apa mendingan
menyerah saja, ya? Soalnya sia-sia, bo! Lebih nikmat kalau waktu yang terbuang
dipakai untuk berlayar di danau kapuk. Tapi dia terlanjur suka tantangannya
sih.
Tak lama adzan subuh berkumandang. Dia segera
menutup perjuangannya kali ini.
Kelas 3 sos 4 SMAN 50, Jakarta, hening. Para
penghuninya diliputi ketegangan yang bisa membuat siapa pun berkeringat dingin.
Persis seperti nonton film horor, eh bukan, tepatnya sedang ikutan main film
horor! Ada takut yang menggerogoti nyali mereka hingga nyaris tak bersisa.
Mereka menatap lamat-lamat sosok berkumis tebal yang menjadi monsternya.
“Bobby, maju!” Monster berjudul Pak julito itu buka
suara. “Kerjakan soal nomor dua!. Oh, tidaaaak! Kata bobby dalam hati. “Neraka”
soal ekonomi nomor dua akhirnya jatuh kepadanya. Sesaat ada lega di hati murid
– murid lain, namun mereka tetap berdoa agar tidak jadi “korban” pak julito
berikutnya. Tapi ada satu siswi yang tidak enjoy dengan horor ini. Hebatnya,
dia tidak takut maju ke depan, tidak takut disemprot the killer monster, tidak
merasa perlu berdoa biar tidak maju ke depan, bahkan dia tidak...... terjaga!
He he he... soalnya dia memang sedang tidur di bangkunya!
Pak
julito yang sedari tadi tidak ngeh, mulai mengendus keganjilan itu. Untuk guru
raja tega macam beliau, kala ada satu saja muridnya yang tidak menikmati film
horornya, dia pasti langsung alergi. Gatal-gatal dikumis gitchu. Makanya,
sewaktu si siswi tidur, beliau langsung bersin – bersin. Abis kutu-kutu di
kumisnya pada kesedot hidung sih... hi hi hi. Tenang saja sang killer monster
murka. Nadya yang duduk semeja dengan siswi itu, mencoba membangunkan sang
calon korban sebelum pak julito berubah jadi manusia super saiya. Si siswi bangun.
Tapi dengan ikhlas dia ngulet sebentar, kemudian tidur lagi dengan sukses!
Pak julito gemas melihatnya. Diambilnya sebatang
kapur, dilemparkannya ke siswi itu. Tuk! Mendarat tepat di jidat. Tapi tidak
ngefek. Pak julito sebal, keki, senewen karena cintanya tak terbalas...
Eh teguran “halusnya” tak di anggap.
“CLAUDYAAAAAA!!” teriaknya di telinga si siswi. “hadir, pak!” siswi spontan
bangun dan berdiri. Murid yang lain ketawa. Perlahan kesadaran siswi bernama
claudya itu pulih.
“eh, bapak. Kirain Chester Bennington. Ada apa,
pak?” tanyanya sambil cengengesan. Tapi pak julito tetap cemberut. “ikut bapak
ke kantor. Sekarang juga!” “ha?! Kok di kantor, pak?” di sini aja deh....,”
rayunya.
“IKUT!!” pak julito keukeuh. Claudya nurut. Dia
mengikuti langkah pak julito dengan kepala tertunduk. Bakal kena semprot lagi
deh, pikirnya.
Murid-murid yang lain hanya bisa menatap
kepergiannya dengan bela sungkawa. “kasihan ya si claudya. Ini kan panggilan
yang keempat kalinya. Bisa habis dia didadar telor!” bobby bersuara. Yang lain
mengangguk setuju.
“oh, Tuhan. Selamatkanlah claudya dari mara bahaya
ini, “ kata agil. “hus! Emangnya pak julito malapetaka apa?”.
“Emang! Kemarin aja kepala gue sampe digundul
gara-gara rambut kuncir gue nggak pernah dipotong. Padahal kan bagus, mirip
Roberto Baggio!”
“Daku apalagi. Cuma gara-gara ketahuan merokok di
warung Bang Na’ip, killer monster menyuruh daku ngisep tuh rokok langsung tiga
batang! Kan penyiksaan itu namanya!”
“Alaaa.....itu kan memang salah kalian sendiri,
wahai pejantan-pejantan 3 sos 4 yang norak dan kucel abis! Kalau claudya kan
beda kasusnya. Dia Cuma ngantuk!” timpal nadya.
“Wah, ini sentimen gender neh. Sentimen,” kata para
pejantan 3 sos 4.
“Mau gender kek. Mau sentimeter kek. Yang jelas gue
mau liat dulu nasibnya sobat gue di kantor. Wassalam!”
“Kami ikut, nad!” kata siswi yang lain melihat nadya
beranjak keluar kelas. Berbondong- bondong semua siswi kelas 3 sos 4, yang Cuma
berjumlah sembilan orang itu, menuju kantor. Sebagai sesama cewek yang menjadi
kaum minoritas di kelas 3 sos 4, mereka memang solider. Satu saja ada yang kena
masalah, yang lain ikut prihatin bin khawatir.
Berbeda dengan siswa cowoknya yang kebanyakan udik,
bawel, jail, dan norak.
Setibanya di kantor, mereka bukannya masuk, tapi
mengendap-endap diluar kantor, merapat ke dinding, kemudian mendekati jendela
ruang kerja pak julito, yang notabene guru ekonomi sekaligus wakasek. Pasti si
claudya sedang di marahi habis-habisan seperti kemarin.
Tapi
suasana ruang kantor justru hening. Ada apa ya? Padahal claudya jelas-jelas
dibawa pak julito ke ruangannya. Tidak seperti biasanya pak julito tidak ber
“seriosa” ria. Pasti sesuatu yang tidak biasa terjadi. Nadya penasaran.
Dilongokannya kepala ke jendela, melihat apa yang terjadi di dalam.
“si claudya lagi diapain? Kok sepi?” bisik dita
sambil menarik – narik seragam putih nadya. Nadya Cuma bengong. “Hoi! Apaan?”
yang lain tidak sabaran.
“nggak tahu. Daritadi mereka Cuma diam terus kayak
gitu,” balas nadya dengan bisikan pula.
“diem aja? Maksud lo?”
“liat aja sendiri deh!”
Dita cs. Langsung berdiri, rebutan ngintip di
sudut-sudut jendela. Persis anak-anak ayam merubungi makanan.
Di
dalam kantor, claudya dan pak julito memang Cuma diam mematung. Sama sekali
minus gelegar suara pak julito atau aksi kungfu memukulkan penggaris ke atas
buku yang doyan beliau pertontonkan pada murid-murid mangsanya. Bahkan sepasang
mata beliau juga tak berkedip sedikit pun!
Rupanya dia sedang memelototi claudya agar gadis itu
tersugesti dan ciut nyalinya. Tapi lima menit sudah berlalu, claudya masih
senyam-senyum mirip orang gila sambil sesekali menggaruki ujung hidungnya. Wah,
ini artinya trik psikologi “Rayuan Pulau Kelapa”. Sebentar lagi bakal ketahuan
siapa pemenangnya.
“Ehm, jadi... apa alasan kau sampai sering ketiduran
pada jam pelajaran?” pak julito akhirnya buka suara.
Horeeee! Itu artinya claudya yang menang! “maksud
bapak?”
“apa yang kau kerjakan setiap malam sampai harus
mengorbankan waktu belajar kau di sekolah untuk tidur?!” tanya beliau dengan
logat Batak kental.
“Ooohh... mencari bintang jatuh, pak,” jawab claudya
polos. Tapi sanggup membuat mata pak julito membelalak tak percaya.
“ha ha ha....” Pak julito tertawa. Tak menyangka
alasannya sesederhana itu. “Untuk apa dan demi apa? Demi takhayul tentang doa
yang akan terkabul kalau melihat bintang jatuh?
“Ayolah,
claudya. Bapak kenal kau sebagai wartawan majalah dinding sekolah ini yang
cerdas. Kau pasti cukup rasional! Jadi kau juga pasti tahu bintang jatuh itu
Cuma batu yang nabrak atmosfer bumi, kemudian tampak bercahaya sampai akhirnya
hancur jadi debu. Dan kita menyebutnya meteor! Jadi apa manfaatnya kau berdoa
pada kejadian alam yang sifatnya rutin dan biasa itu?”
Vega tersenyum. “Bukan karena itu kok, pak.”
“Lantas?”
“Memotretnya.”
“Me... memotretnya?” Vega mengangguk.
“Bapak tidak salah dengat, kan?”. Vega menggeleng.
Seketika pak julito diam. Pasti otaknya yang penuh dengan rumus-rumus ekonomi
sangsi pada ucapan claudya. Kok ada ya murid yang bela-belain motret bintang
jatuh sampai tidurnya pindah ke sekolh? Begitu pikirnya.
Tak lama kemudian pak julito terkekeh.
“Oke.... Oke. Mungkin ini hobimu. Sekeras apapun
Bapak berusaha mengerti, mungkin tidak akan benar-benar mengerti karena kita
tidak memiliki hobi yang sama. Dan sekeras apapun bapak melarang, pasti tidak
akan kau turuti pula. Apalagi kau siswi paling keras kepala yang pernah bapak
kenal! Jadi bapak Cuma bisa meminta, tolong kau atur lagi lah jadwalmu
istirahat, sekolah, mencari bintang jatuh, dan belajar agar tidak ada yang
dinomorduakan. Mengerti kau?”
“Oke, pak.”
“Bagus. Sekarang kau boleh kembali ke kelasmu.”
“Terimakasih, pak. Saya juga akan berusaha
meyelesaikn secepatnya. Lagian tanggal perjanjiannya sudah dekat kok.”
“Tanggal perjanjian?”
Iya, Bapak. T-A-N-G-G-A-L P-E-R-J-A-N-J-I-A-N.
Sebenarnya memotret bintang jatuh itu bukan hobinya claudya. Itu tantangan
papanya. Beberapa waktu lalu, entah kenapa sang papa ujug-ujug nantang claudya
memotret bintang jatuh dengan iming-iming imbalan menggiurkan kalau claudya
berhasil memotretnya. Claudya yang memang suka tantangan dan mata duitan kalo
dengar kata hadiah atau fulus atau imbalan langsung saja setuju.
Kini,
tinggal kurang dari seminggu lagi tantangan itu berakhir. Dan claudya harus
bisa menyerahkan bukti foto hasil jepretannya yang terbagus saat sang papa
pulang dari Manado nanti. Tapi jelas dia tak bakal memberitahukan sedetail ini
pada pak julito. Jadi.....
“Ah, bukan masalah besar kok, pak. Permisi.”
“Ya”.
Pak julito menatap kepergian gadis berambut hitam
ikal yang disambut teman-teman kelasnya diluar kantor itu, dengan perasaan tak
menentu. Sepanjang reputasinya sebagai killer, baru kali ini dia bertemu siswi
yang keras kepala dan doyan cengengesan sewaktu dimarahi. Benar-benar gadis
aneh.
“Fiuuhh. Selamet lagi deh ge. Kalo nggak...” tangan
kanan claudya membuat garis horisontal dileher, gerakan yang bisa jadi gaya
tetap waktu nyanyi lagu potong bebek angsa-angsa di kuali.
Yang lain ketawa kik kik kik.
“Lagian elo juga sih yang salah. Udah tau hari ini
ada pelajaran Mr.Killer, eeh... malah nekat begadang lagi, “sahut nadya.
“Yah mau gimana lagi? habis deadline nya tinggal
lima hari lagi sih, “ jawab claudya.
“Emang susah kalo ngadepin cewek matre. Kalau ada
maunya aja...” Nah, kalau ini suaranya si Rio, cowok ceking, pendiam, tapi
cakep abis!
“Eh, jangan sembarangan nuduh ya. Elo pikir gue bakal nggak mau kalo nggak ada
hadiahnya?” claudya nyolot.
“Kalau ngeliat sifat elo sih....”
“APA?!” Claudya bangkit dari kursi. Hormon Preman
Pulogadungnya meningkat. “Aduuuh, udah dong. Perasaan sejak kelas satu dulu
kalian ribut terus deh. Sekali-kali mesra dikit napa?”
“Gundulmu mesra?!” jerit claudya dan Rio kompak.
Nadya terkesima. Ternyata dua anak yang bagai kucing
dan anjing itu bisa kompak juga. Bikin gemes aja.
“Aduuuuuh, kalian kompak amat deh. Bener-bener
mesra. Bagai sepasang kekasih yang dimaaabuuk asmaaraaa.” Nadya berucap dengan
gaya deklamasi melankolis. Anggota badannya turut bergerak mengikuti irama
hati.
“Huuuuh?!” seisi kelas sontak menyoraki. Maklum.
Siapa pun tau tipe pemuja romantisme.
Sayang,
pertengkaran seru yang dinikmati nadya sebagai tontonan itu mesti berakhir. Bu
Sri Sari Warni yang mengisi jam pelajaran Matematika keburu masuk. Para siswa
duduk rapi di bangkunya masing-masing.
“Eh, clau, bener lho. Kalian cocok jadi sepasang
kekasih,” nadya sempat berbisik.
“Udah deh, nad. Udah SERATUS DUA PULUH LIMA KALI
sejak kita kelas satu lo bilang gitu.”
“Emang lo ngitung?”
Nadya kesal. Ini anak memang bego atau pura-pura
bego, ya?
“Nggak lah!”
“Oooh, kirain.....”
Nadya tidak melanjutkan perkataannya. Juga tidak
melanjutkan pembicaraan dengan claudya. Dia asyik menyimak uraian Bu Sri Sari
Warni tentang matematika. Dari dulu dia memang suka pelajaran itu. Nadya tidak
pernah bosannya melahap semua tentang rumus-rumus matematika itu. Sementara
claudya mulai sibuk melamun. Sekilas dia melirik Rio yang duduk di pojok kelas
arah diagonalnya.
Nama aslinya sih Mario Bekti Utama. Konon selain
berdarah Jogja, dia juga punya garis keturunan bangsa Amerika Latin. Memang
keliatansih, dari bentuk hidung dan matanya. Tapi claudya ngga habis pikir
kenapa dia dan Rio sering banget terlibat pertengkaran. Ada saja yang mereka
ributkan. Padahal asli, claudya bukan orang yang senang cari musuh. Claudya pun
yakin Rio bukan orang yang senang cari musuh. Anak jutek rada pendiam mungkin
lebih tepatnya pemurung macam dia tidak mungkin senang cari musuh. Tapi, why
mereka sering bertengkar?
“Kali aja Rio suka sama kamu. Kali aja itu cara dia
kasih perhatian.”
Claudya menepis dugaan nadya yang sering
diucapkannya saat claudya marah-marah gara-gara kelakuan Rio yang menjengkelkan
itu. Tidak mungkin. Anak yang tega judes pada cewek itu tidak mungkin bisa suka
padanya biarpun claudya cantik. Malahan, jangan-jangan dia tidak suka sama
sekali sama yang namanya cewek!
Astaga!
Claudya sudah berburuk sangka. Sekali lagi dia melirik Rio. Ternyata cowok
itupun sedang tidak menyimak was-wes-wosnya Bu Sri. Tangannya bergerak-gerak.
Dia sedang menggambar. Pasti gambar cewek itu lagi. cewek cantik bagai tokoh
komik-komik Jepang yang digambarnya hampir setiap hari. Kalau sedang serius
begitu, Rio memang tampak keren. Cuma matanya yang kerap bersinar aneh. Seperti
menyimpan sesuatu. Entah apa. Mungkin sedih, sendu, sayu, atau perih. Yang
jelas, claudya merasa itu tatapan kerinduan yang pahit! Wuih, keren juga
istilahnya. Setidaknya buat claudya yang belum pernah jatuh cinta.
Sepertinya Rio punya masa lal yang kurang
menyenangkan.
“Hayo! Lagi merhatiin pujaan hati, ya?” goda nadya
tiba-tiba. Claudya kaget.
“Brengsek lo!”
Nadya ketawa karena berhasil membuat claudya kikuk.
Tapi sayang dia tidak menyadari bahwa sekilas raut wajah claudya memerah.
“nad, elo mau nggak nolonging gue?”
“Apaan?”
Claudya mengangsurkan kepalanya mendekati telinga
nadya.
“Ngapain sih pake bisik-bisik ke telinga segala?
Ngomong aja langsung, lagi. nggak akan ada yang denger ini.”
“Untuk menghindari bocor sebelum waktunya. Ini top
secret!”
“Oooh, oke.” Nadya maklum. Pasalnya dibelakang
bangku mereka duduk Mila, si biang gosip. Dengar sedikit saja suatu info,
langsung disebarkan ke seantero sekolah. Kalau claudya sampai minta pakai media
bisik-bisik spesial segala, berarti ada info yang tidak boleh diketahui orang
lain sebelum waktunya.
Claudya kembali mendekatkan kepalanya ke telinga
nadya.
“Gini. Pst...pst....pst...!”
“Pst...pst...pst...?”
“Pst...pst.”
“Pst...pst?”
“Pst.”
“HAH?!”
Satu kata dua huruf yang diucapkan nadya dengan
keras. Tapi mampu membuat semua siswa dan Bu Sri terenyak dalam diam. Sekilas
hening.
Hening.....
Masih hening....
Bingung kan apa maksudnya? Oke deh. Sekarang kita
rekonstruksi dengan meningkatkan daya tangkap pendengaran kita.
Claudya kembali mendekatkan kepala ke telinga nadya.
“Gini. Besok bolos yuk!”
“Lho, besok kan Jumat. Ada pelajarannya Mr.Killer,
lagi.”
“Sekali ini saja. Gue butuh banget nih.”
“Ngggg.... oke deh. Ke mana? Mal? Ancol? Boling?
Timezone?”
“Yogyakarta”.
“HAH?!”
Satu kata tiga huruf yang diucapkan nadya dengan
keras. Tapi mampu membuat semua siswa dan Bu Sri terenyak dalam diam. Sekilas
hening.
Hening...
Masih hening...
Wajar kalau mereka berdua akhirnya dihukum berdiri
di depan kelas dengan tuduhan: mengobrol di waktu pelajaran berlangsung. Dan
akhirnya pun ke esokan harinya mereka berdua izin dengan alasan untuk pergi ke
Yogyakarta berburu bintang jatuh dan mengirimkan surat yang ditujukan kepada
Wali kelas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar