Senin, 29 April 2013

Cerpen



Pukul tiga dini hari. Gadis itu masih juga nongkrong di teras kamarnya dilantai atas. Di sampingnya terkapar tak berdaya sebuah camera. Malam ini, dia tengah asyik mengintip! Eit, nanti dulu! Jangan negative thinking dong! Yang di intipnya adalah tebaran bintang di langit melalui teropong! Ada yang sedang dicarinya. Dia celingukan terus ke atas langit.
Angin malam menyapa. Si gadis merapatkan jaketnya yang agak tersingkap. Dingin dan sunyi. Tapi di atas, langit tampak begitu cerah dengan ditemani sedikit bintang. Sinarnya kadang menerang, kadang meredup bersaing dengan lampu merkuri di pinggir jalan.
            “hhh.” Ia mendesah. Dia bingung, kesal, marah. Sudah seminggu ini yang dicarinya nggak nongol. Kalaupun ada, belum tentu dia berhasil menangkap si kecil yang cepat itu. Dia pusing, stres, dongkol. Selalu begini hasil akhirnya. Apa mendingan menyerah saja, ya? Soalnya sia-sia, bo! Lebih nikmat kalau waktu yang terbuang dipakai untuk berlayar di danau kapuk. Tapi dia terlanjur suka tantangannya sih.
Tak lama adzan subuh berkumandang. Dia segera menutup perjuangannya kali ini.
Kelas 3 sos 4 SMAN 50, Jakarta, hening. Para penghuninya diliputi ketegangan yang bisa membuat siapa pun berkeringat dingin. Persis seperti nonton film horor, eh bukan, tepatnya sedang ikutan main film horor! Ada takut yang menggerogoti nyali mereka hingga nyaris tak bersisa. Mereka menatap lamat-lamat sosok berkumis tebal yang menjadi monsternya.
“Bobby, maju!” Monster berjudul Pak julito itu buka suara. “Kerjakan soal nomor dua!. Oh, tidaaaak! Kata bobby dalam hati. “Neraka” soal ekonomi nomor dua akhirnya jatuh kepadanya. Sesaat ada lega di hati murid – murid lain, namun mereka tetap berdoa agar tidak jadi “korban” pak julito berikutnya. Tapi ada satu siswi yang tidak enjoy dengan horor ini. Hebatnya, dia tidak takut maju ke depan, tidak takut disemprot the killer monster, tidak merasa perlu berdoa biar tidak maju ke depan, bahkan dia tidak...... terjaga! He he he... soalnya dia memang sedang tidur di bangkunya!
            Pak julito yang sedari tadi tidak ngeh, mulai mengendus keganjilan itu. Untuk guru raja tega macam beliau, kala ada satu saja muridnya yang tidak menikmati film horornya, dia pasti langsung alergi. Gatal-gatal dikumis gitchu. Makanya, sewaktu si siswi tidur, beliau langsung bersin – bersin. Abis kutu-kutu di kumisnya pada kesedot hidung sih... hi hi hi. Tenang saja sang killer monster murka. Nadya yang duduk semeja dengan siswi itu, mencoba membangunkan sang calon korban sebelum pak julito berubah jadi manusia super saiya. Si siswi bangun. Tapi dengan ikhlas dia ngulet sebentar, kemudian tidur lagi dengan sukses!
Pak julito gemas melihatnya. Diambilnya sebatang kapur, dilemparkannya ke siswi itu. Tuk! Mendarat tepat di jidat. Tapi tidak ngefek. Pak julito sebal, keki, senewen karena cintanya tak terbalas...
Eh teguran “halusnya” tak di anggap. “CLAUDYAAAAAA!!” teriaknya di telinga si siswi. “hadir, pak!” siswi spontan bangun dan berdiri. Murid yang lain ketawa. Perlahan kesadaran siswi bernama claudya itu pulih.
“eh, bapak. Kirain Chester Bennington. Ada apa, pak?” tanyanya sambil cengengesan. Tapi pak julito tetap cemberut. “ikut bapak ke kantor. Sekarang juga!” “ha?! Kok di kantor, pak?” di sini aja deh....,” rayunya.
“IKUT!!” pak julito keukeuh. Claudya nurut. Dia mengikuti langkah pak julito dengan kepala tertunduk. Bakal kena semprot lagi deh, pikirnya.
Murid-murid yang lain hanya bisa menatap kepergiannya dengan bela sungkawa. “kasihan ya si claudya. Ini kan panggilan yang keempat kalinya. Bisa habis dia didadar telor!” bobby bersuara. Yang lain mengangguk setuju.
“oh, Tuhan. Selamatkanlah claudya dari mara bahaya ini, “ kata agil. “hus! Emangnya pak julito malapetaka apa?”.
“Emang! Kemarin aja kepala gue sampe digundul gara-gara rambut kuncir gue nggak pernah dipotong. Padahal kan bagus, mirip Roberto Baggio!”
“Daku apalagi. Cuma gara-gara ketahuan merokok di warung Bang Na’ip, killer monster menyuruh daku ngisep tuh rokok langsung tiga batang! Kan penyiksaan itu namanya!”
“Alaaa.....itu kan memang salah kalian sendiri, wahai pejantan-pejantan 3 sos 4 yang norak dan kucel abis! Kalau claudya kan beda kasusnya. Dia Cuma ngantuk!” timpal nadya.
“Wah, ini sentimen gender neh. Sentimen,” kata para pejantan 3 sos 4.
“Mau gender kek. Mau sentimeter kek. Yang jelas gue mau liat dulu nasibnya sobat gue di kantor. Wassalam!”
“Kami ikut, nad!” kata siswi yang lain melihat nadya beranjak keluar kelas. Berbondong- bondong semua siswi kelas 3 sos 4, yang Cuma berjumlah sembilan orang itu, menuju kantor. Sebagai sesama cewek yang menjadi kaum minoritas di kelas 3 sos 4, mereka memang solider. Satu saja ada yang kena masalah, yang lain ikut prihatin bin khawatir.
Berbeda dengan siswa cowoknya yang kebanyakan udik, bawel, jail, dan norak.
Setibanya di kantor, mereka bukannya masuk, tapi mengendap-endap diluar kantor, merapat ke dinding, kemudian mendekati jendela ruang kerja pak julito, yang notabene guru ekonomi sekaligus wakasek. Pasti si claudya sedang di marahi habis-habisan seperti kemarin.
            Tapi suasana ruang kantor justru hening. Ada apa ya? Padahal claudya jelas-jelas dibawa pak julito ke ruangannya. Tidak seperti biasanya pak julito tidak ber “seriosa” ria. Pasti sesuatu yang tidak biasa terjadi. Nadya penasaran. Dilongokannya kepala ke jendela, melihat apa yang terjadi di dalam.
“si claudya lagi diapain? Kok sepi?” bisik dita sambil menarik – narik seragam putih nadya. Nadya Cuma bengong. “Hoi! Apaan?” yang lain tidak sabaran.
“nggak tahu. Daritadi mereka Cuma diam terus kayak gitu,” balas nadya dengan bisikan pula.
“diem aja? Maksud lo?”
“liat aja sendiri deh!”
Dita cs. Langsung berdiri, rebutan ngintip di sudut-sudut jendela. Persis anak-anak ayam merubungi makanan.
            Di dalam kantor, claudya dan pak julito memang Cuma diam mematung. Sama sekali minus gelegar suara pak julito atau aksi kungfu memukulkan penggaris ke atas buku yang doyan beliau pertontonkan pada murid-murid mangsanya. Bahkan sepasang mata beliau juga tak berkedip sedikit pun!
Rupanya dia sedang memelototi claudya agar gadis itu tersugesti dan ciut nyalinya. Tapi lima menit sudah berlalu, claudya masih senyam-senyum mirip orang gila sambil sesekali menggaruki ujung hidungnya. Wah, ini artinya trik psikologi “Rayuan Pulau Kelapa”. Sebentar lagi bakal ketahuan siapa pemenangnya.
“Ehm, jadi... apa alasan kau sampai sering ketiduran pada jam pelajaran?” pak julito akhirnya buka suara.
Horeeee! Itu artinya claudya yang menang! “maksud bapak?”
“apa yang kau kerjakan setiap malam sampai harus mengorbankan waktu belajar kau di sekolah untuk tidur?!” tanya beliau dengan logat Batak kental.
“Ooohh... mencari bintang jatuh, pak,” jawab claudya polos. Tapi sanggup membuat mata pak julito membelalak tak percaya.
“ha ha ha....” Pak julito tertawa. Tak menyangka alasannya sesederhana itu. “Untuk apa dan demi apa? Demi takhayul tentang doa yang akan terkabul kalau melihat bintang jatuh?
            “Ayolah, claudya. Bapak kenal kau sebagai wartawan majalah dinding sekolah ini yang cerdas. Kau pasti cukup rasional! Jadi kau juga pasti tahu bintang jatuh itu Cuma batu yang nabrak atmosfer bumi, kemudian tampak bercahaya sampai akhirnya hancur jadi debu. Dan kita menyebutnya meteor! Jadi apa manfaatnya kau berdoa pada kejadian alam yang sifatnya rutin dan biasa itu?”
Vega tersenyum. “Bukan karena itu kok, pak.”
“Lantas?”
“Memotretnya.”
“Me... memotretnya?” Vega mengangguk.
“Bapak tidak salah dengat, kan?”. Vega menggeleng. Seketika pak julito diam. Pasti otaknya yang penuh dengan rumus-rumus ekonomi sangsi pada ucapan claudya. Kok ada ya murid yang bela-belain motret bintang jatuh sampai tidurnya pindah ke sekolh? Begitu pikirnya.
Tak lama kemudian pak julito terkekeh.
“Oke.... Oke. Mungkin ini hobimu. Sekeras apapun Bapak berusaha mengerti, mungkin tidak akan benar-benar mengerti karena kita tidak memiliki hobi yang sama. Dan sekeras apapun bapak melarang, pasti tidak akan kau turuti pula. Apalagi kau siswi paling keras kepala yang pernah bapak kenal! Jadi bapak Cuma bisa meminta, tolong kau atur lagi lah jadwalmu istirahat, sekolah, mencari bintang jatuh, dan belajar agar tidak ada yang dinomorduakan. Mengerti kau?”
“Oke, pak.”
“Bagus. Sekarang kau boleh kembali ke kelasmu.”
“Terimakasih, pak. Saya juga akan berusaha meyelesaikn secepatnya. Lagian tanggal perjanjiannya sudah dekat kok.”
“Tanggal perjanjian?”
Iya, Bapak. T-A-N-G-G-A-L P-E-R-J-A-N-J-I-A-N. Sebenarnya memotret bintang jatuh itu bukan hobinya claudya. Itu tantangan papanya. Beberapa waktu lalu, entah kenapa sang papa ujug-ujug nantang claudya memotret bintang jatuh dengan iming-iming imbalan menggiurkan kalau claudya berhasil memotretnya. Claudya yang memang suka tantangan dan mata duitan kalo dengar kata hadiah atau fulus atau imbalan langsung saja setuju.
            Kini, tinggal kurang dari seminggu lagi tantangan itu berakhir. Dan claudya harus bisa menyerahkan bukti foto hasil jepretannya yang terbagus saat sang papa pulang dari Manado nanti. Tapi jelas dia tak bakal memberitahukan sedetail ini pada pak julito. Jadi.....
“Ah, bukan masalah besar kok, pak. Permisi.”
“Ya”.
Pak julito menatap kepergian gadis berambut hitam ikal yang disambut teman-teman kelasnya diluar kantor itu, dengan perasaan tak menentu. Sepanjang reputasinya sebagai killer, baru kali ini dia bertemu siswi yang keras kepala dan doyan cengengesan sewaktu dimarahi. Benar-benar gadis aneh.
“Fiuuhh. Selamet lagi deh ge. Kalo nggak...” tangan kanan claudya membuat garis horisontal dileher, gerakan yang bisa jadi gaya tetap waktu nyanyi lagu potong bebek angsa-angsa di kuali.
Yang lain ketawa kik kik kik.
“Lagian elo juga sih yang salah. Udah tau hari ini ada pelajaran Mr.Killer, eeh... malah nekat begadang lagi, “sahut nadya.
“Yah mau gimana lagi? habis deadline nya tinggal lima hari lagi sih, “ jawab claudya.
“Emang susah kalo ngadepin cewek matre. Kalau ada maunya aja...” Nah, kalau ini suaranya si Rio, cowok ceking, pendiam, tapi cakep abis!
“Eh, jangan sembarangan nuduh ya.  Elo pikir gue bakal nggak mau kalo nggak ada hadiahnya?” claudya nyolot.
“Kalau ngeliat sifat elo sih....”
“APA?!” Claudya bangkit dari kursi. Hormon Preman Pulogadungnya meningkat. “Aduuuh, udah dong. Perasaan sejak kelas satu dulu kalian ribut terus deh. Sekali-kali mesra dikit napa?”
“Gundulmu mesra?!” jerit claudya dan Rio kompak.
Nadya terkesima. Ternyata dua anak yang bagai kucing dan anjing itu bisa kompak juga. Bikin gemes aja.
“Aduuuuuh, kalian kompak amat deh. Bener-bener mesra. Bagai sepasang kekasih yang dimaaabuuk asmaaraaa.” Nadya berucap dengan gaya deklamasi melankolis. Anggota badannya turut bergerak mengikuti irama hati.
“Huuuuh?!” seisi kelas sontak menyoraki. Maklum. Siapa pun tau tipe pemuja romantisme.
            Sayang, pertengkaran seru yang dinikmati nadya sebagai tontonan itu mesti berakhir. Bu Sri Sari Warni yang mengisi jam pelajaran Matematika keburu masuk. Para siswa duduk rapi di bangkunya masing-masing.
“Eh, clau, bener lho. Kalian cocok jadi sepasang kekasih,” nadya sempat berbisik.
“Udah deh, nad. Udah SERATUS DUA PULUH LIMA KALI sejak kita kelas satu lo bilang gitu.”
“Emang lo ngitung?”
Nadya kesal. Ini anak memang bego atau pura-pura bego, ya?
“Nggak lah!”
“Oooh, kirain.....”
Nadya tidak melanjutkan perkataannya. Juga tidak melanjutkan pembicaraan dengan claudya. Dia asyik menyimak uraian Bu Sri Sari Warni tentang matematika. Dari dulu dia memang suka pelajaran itu. Nadya tidak pernah bosannya melahap semua tentang rumus-rumus matematika itu. Sementara claudya mulai sibuk melamun. Sekilas dia melirik Rio yang duduk di pojok kelas arah diagonalnya.
Nama aslinya sih Mario Bekti Utama. Konon selain berdarah Jogja, dia juga punya garis keturunan bangsa Amerika Latin. Memang keliatansih, dari bentuk hidung dan matanya. Tapi claudya ngga habis pikir kenapa dia dan Rio sering banget terlibat pertengkaran. Ada saja yang mereka ributkan. Padahal asli, claudya bukan orang yang senang cari musuh. Claudya pun yakin Rio bukan orang yang senang cari musuh. Anak jutek rada pendiam mungkin lebih tepatnya pemurung macam dia tidak mungkin senang cari musuh. Tapi, why mereka sering bertengkar?
“Kali aja Rio suka sama kamu. Kali aja itu cara dia kasih perhatian.”
Claudya menepis dugaan nadya yang sering diucapkannya saat claudya marah-marah gara-gara kelakuan Rio yang menjengkelkan itu. Tidak mungkin. Anak yang tega judes pada cewek itu tidak mungkin bisa suka padanya biarpun claudya cantik. Malahan, jangan-jangan dia tidak suka sama sekali sama yang namanya cewek!
            Astaga! Claudya sudah berburuk sangka. Sekali lagi dia melirik Rio. Ternyata cowok itupun sedang tidak menyimak was-wes-wosnya Bu Sri. Tangannya bergerak-gerak. Dia sedang menggambar. Pasti gambar cewek itu lagi. cewek cantik bagai tokoh komik-komik Jepang yang digambarnya hampir setiap hari. Kalau sedang serius begitu, Rio memang tampak keren. Cuma matanya yang kerap bersinar aneh. Seperti menyimpan sesuatu. Entah apa. Mungkin sedih, sendu, sayu, atau perih. Yang jelas, claudya merasa itu tatapan kerinduan yang pahit! Wuih, keren juga istilahnya. Setidaknya buat claudya yang belum pernah jatuh cinta.
Sepertinya Rio punya masa lal yang kurang menyenangkan.
“Hayo! Lagi merhatiin pujaan hati, ya?” goda nadya tiba-tiba. Claudya kaget.
“Brengsek lo!”
Nadya ketawa karena berhasil membuat claudya kikuk. Tapi sayang dia tidak menyadari bahwa sekilas raut wajah claudya memerah.
“nad, elo mau nggak nolonging gue?”
“Apaan?”
Claudya mengangsurkan kepalanya mendekati telinga nadya.
“Ngapain sih pake bisik-bisik ke telinga segala? Ngomong aja langsung, lagi. nggak akan ada yang denger ini.”
“Untuk menghindari bocor sebelum waktunya. Ini top secret!”
“Oooh, oke.” Nadya maklum. Pasalnya dibelakang bangku mereka duduk Mila, si biang gosip. Dengar sedikit saja suatu info, langsung disebarkan ke seantero sekolah. Kalau claudya sampai minta pakai media bisik-bisik spesial segala, berarti ada info yang tidak boleh diketahui orang lain sebelum waktunya.
Claudya kembali mendekatkan kepalanya ke telinga nadya.
“Gini. Pst...pst....pst...!”
“Pst...pst...pst...?”
“Pst...pst.”
“Pst...pst?”
“Pst.”
“HAH?!”
Satu kata dua huruf yang diucapkan nadya dengan keras. Tapi mampu membuat semua siswa dan Bu Sri terenyak dalam diam. Sekilas hening.
Hening.....
Masih hening....
Bingung kan apa maksudnya? Oke deh. Sekarang kita rekonstruksi dengan meningkatkan daya tangkap pendengaran kita.
Claudya kembali mendekatkan kepala ke telinga nadya.
“Gini. Besok bolos yuk!”
“Lho, besok kan Jumat. Ada pelajarannya Mr.Killer, lagi.”
“Sekali ini saja. Gue butuh banget nih.”
“Ngggg.... oke deh. Ke mana? Mal? Ancol? Boling? Timezone?”
“Yogyakarta”.
“HAH?!”
Satu kata tiga huruf yang diucapkan nadya dengan keras. Tapi mampu membuat semua siswa dan Bu Sri terenyak dalam diam. Sekilas hening.
Hening...
Masih hening...
Wajar kalau mereka berdua akhirnya dihukum berdiri di depan kelas dengan tuduhan: mengobrol di waktu pelajaran berlangsung. Dan akhirnya pun ke esokan harinya mereka berdua izin dengan alasan untuk pergi ke Yogyakarta berburu bintang jatuh dan mengirimkan surat yang ditujukan kepada Wali kelas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar